[Thought] 3 Juni 2015

Baca bukunya sudah lama, sekitar Januari awal. Tapi ada satu quote yang terus terbawa dan menjadi hal yang cukup membuka pikiran saya. Quote-nya seperti ini:

“We aren’t who we want to be. We are what society demands. We are what our parents choose. We don’t want to disappoint anyone; we have a great need to be loved. So we smother the best in us. Gradually, the light of our dreams turn into the monster of our nightmares. They become things not done, possibilities not lived.”

Indonesia-nya:

“Kita bukan orang yang semula kita inginkan. Kita adalah yang dituntut masyarakat. Kita adalah apa yang dipilih orang tua kita. Kita tidak ingin mengecewakan siapa pun; kita memiliki kebutuhan yang besar untuk dicintai. Jadi kita menutupi sisi terbaik dari kita. Perlahan-lahan, cahaya impian kita berubah menjadi monster dalam mimpi-mimpi buruk. Mereka menjadi hal-hal yang tidak dilakukan, kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita jalankan.”


Iya, menjadi yang orang lain inginkan. Membuat diri kita melakukan hal-hal yang dikatakan, yang dirasakan, yang disarankan, yang dikomentarkan, oleh orang lain. Karena kita tidak mau mengecewakan siapapun. Kita takut pada reaksi yang akan diterima jika kita melakukan suatu hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang ada di masyarakat maupun dilingkungan keluarga. Tentunya itu semua terjadi ketika kita sudah bisa membuat pilihan untuk keberlangsungan hidup kita. Dengan kata lain setelah kita siap menerima dunia. Setelah kita tumbuh dari anak yang minum susu untuk sarapan pagi menjadi seorang muda yang menengguk kopi sebagai pembangun pagi.

We aren’t who we want to be. Kita bukan orang yang semula kita inginkan. Masih ingat cita-cita atau impian kita saat duduk di bangku berseragam putih-merah atau putih-biru? Atau bahkan saat masa putih-abu-abu? Tentu. Banyak impian yang kita miliki, seringkali berubah-ubah tergantung pada apa yang sedang kita yakini saat itu. Tapi pasti ada satu impian yang benar-benar ingin kita ingin wujudkan, bukan? Suatu impian yang menguras seluruh pikiran dan jiwa kita untuk mewujudkannya. Yang menggugah hati kita, yang membuat jantung kita berpacu begitu kencang saat kita mulai membuat langkah pertama dalam pencapaian impian itu.

We are what society demands. Kita adalah yang dituntut masyarakat. Masyarakat, sekelompok orang. Pengaruh masyarakat dalam lingkungan sosial memang sangat besar. Terutama ide-ide, gagasan-gagasan, dan komentar-komentarnya. Kita terbentuk sedemikian rupa dalam masyarakat. Saat kita ingin berjalan dan orang-orang disekitar mengatakan bahwa berlari akan lebih baik kemungkinan besar kita akan berlari, seperti yang digagaskan oleh mereka. Padahal mungkin berlari akan membuat anda sampai lebih cepat namun merasa lelah dan melupakan detail-detail kehidupan. Ada juga kala saat kita ingin menikmati dunia, tapi mereka memberikan ide-ide bahwa dunia terlalu luas untuk ditapaki. Mereka membuat dunia seolah terasa lebih besar dibanding mimpi-mimpi kita. Dan yang menyedihkan adalah ketika kita mengikuti kehendak mereka dan melupakan eksistensi kita sendiri.

We are what our parents choose. Kita adalah apa yang dipilih orang tua kita. Iya, kita adalah apa yang orang tua pilih untuk kita. Pendidikan. Tempat Tinggal. Kegiatan Keluarga. Bahkan Agama. Kita ada saat ini karena orang tua. Benar. Kita bisa hidup seperti sekarang ini karena orang tua. Benar. Orang tua tidak hanya mengacu pada Ayah dan Ibu kandung, tapi bisa jadi seseorang yang memiliki peran sebagai orang tua. Entah Grandparents, Uncle, Auntie, or many more. Tidak sedikit dari kita yang menjalani hidupnya sesuai dengan yang orang tua inginkan. Seorang anak yang memiliki Ayah Direktur di sebuah perusahaan dipaksa diminta menjadi penerusnya. Seorang anak yang gemar bermain musik disarankan oleh orang tuanya untuk menempuh pendidikan bisnis di luar negeri. Begitu banyak hal seperti itu dalam kehidupan kita. Iya. Benar.

We don’t want to disappoint anyone; we have a great need to be loved. Kita tidak ingin mengecewakan siapa pun; kita memiliki kebutuhan yang besar untuk dicintai. Keluarga, teman, organisasi, kolega, bahkan lingkungan. Kita hidup dalam keterkaitan dengan semua itu dan tidak satupun hal yang ingin membuat orang-orang kecewa pada kita. Sebab kita butuh dimengerti, butuh dikasihi, dan butuh disikapi dengan baik demi kesehatan mental kita. So we smother the best in us. Jadi kita menutupi sisi terbaik dari kita. Kita menahan banyak hal besar dalam diri kita. Yang jika kita lakukan mungkin akan membuat kemunduran dalam kebahagian orang lain tapi menjadi besar dalam membuat kita kecil.

Gradually, the light of our dreams turn into the monster of our nightmares. They become things not done, possibilities not lived. Perlahan-lahan, cahaya impian kita berubah menjadi monster dalam mimpi-mimpi buruk. Mereka menjadi hal-hal yang tidak dilakukan, kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita jalankan. Impian. Gagasan. Ide. Pemikiran. Pada akhirnya tidak ada yang kita lakukan selain menjadi apa yang lingkungan ingin kita lakukan.

Namun, ada beberapa (banyak) orang besar yang mampu mewujud nyatakan tiap-tiap impian, gagasan, ide, dan pemikiran mereka. Why they can? Karena mereka hidup bukan untuk ‘kepentingan’ orang lain, tapi untuk ‘kebebasan’ jiwa mereka.

Kembali ke awal, ini hanya pendapat, gagasan, pemikiran yang tertuang dalam bentuk tulisan. Saya orang yang fleksibel, selalu berusaha untuk dapat menerima perbedaan sudut pandang dari tiap orang. Saya tidak pernah merasa bahwa pemikiran saya dapat mempengaruhi orang lain, karena kebanyakan tulisan saya ditulis untuk menyenangkan diri saya sendiri. ^^


Dan benar, quote diatas tertulis dalam buku Adultery karya Paulo Coelho.

#nulisRandom2015

Comments

Popular posts from this blog

[Review] Mr. Sunshine, Reinkarnasi Jin Goo dan Kim Ji Won di DotS!

[FanFict] DO TIMJANG VOICE 3

Study In UK !!!