[Short Story] 12 Juni 2015

Aku berdiri di taman kota dengan perasaan penuh amarah yang tertahan. Membiarkan orang-orang berlalu lalang tanpa menghiraukan diriku yang diam laksana patung selamat datang. Ku coba mengatur napasku, menyerap energi dari kegelapan malam yang dihalau lampu-lampu terang taman ini. Aku membaca kembali email di ponselku yang dikirimkan oleh Edward.

Leslie, sebenarnya Anthony melarangku untuk memberitahu mu. Tapi, aku tidak tahan lagi melihatnya menderita seperti itu. Ia sok kuat padahal ia merindukanmu. Ah...sudah cukup kata pengantarnya, sebenarnya yang ingin ku katakan adalah Anthony sakit. Maksudku benar-benar sakit. Ia harus ke rumah sakit seminggu dua kali, tapi ia tidak mengatakan alasannya. Ia hanya bilang ‘tidak apa-apa’ ‘aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir’. Tapi aku tidak percaya. Jadi dua minggu lalu, aku mengikutinya ke rumah sakit dan ia masuk ke sebuah ruangan orthopedy. Kau tahu, kan, orthopedy itu apa? Benar, berkaitan dengan tulang. Tapi ia lama sekali di dalam, jadi aku tertidur di ruang tunggu dan BAMM! Ia sudah duduk disampingku saat aku terbangun. Lalu dengan sendirinya ia mengatakan bahwa ia menderita kanker tulang belakang. Ia juga menambahkan bahwa aku harus merahasiakannya darimu. Tapi, ya, seperti yang ku katakan, Leslie. Ia sok kuat, ia selalu melakukan semuanya seorang diri padahal kankernya stadium 3. Bahkan aku sebagai kakak satu-satunya tak diizinkan menemaninya. Yang lebih parah, ia merindukanmu tapi ia berpikir bahwa menjauh darimu adalah hal terbaik untukmu. Tapi sayangnya, aku tak sependapat. Karena menurutku kau perlu tahu, sebagai teman yang ia rindukan dan sayangi. Jadi, pergilah ke Taman Yocksille jam 7 malam. Ia akan melewati taman itu sebelum naik bus ke rumah malam ini. Good luck.

Amarahku berubah menjadi air mata. Lalu buru-buru ku seka ketika beberapa orang yang lewat mulai memperhatikanku. Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Hatiku makin menciut. Aku takut tak mampu menahan sisi emosionalku yang selalu ku sembunyikan. Aku juga takut kata-kataku malah akan membuatnya berpikir bahwa menjauhiku memang keputusan terbaiknya. Namun aku sadar, aku disini untuk membuatnya berbicara jujur padaku. Aku tentu akan mendengarkan semua penjelasan dan juga alasan yang akan dikatakannya.

“Leslie Hale.” Sapaan terkejut seorang pria memecah renungan singkatku. Dari suara bariton yang khas itu aku tahu betul siapa pemiliknya.

“Anthony.” Suaraku tercekat. Mataku membulat melihat sosok penuh keteduhan itu sudah berdiri tepat dihadapanku. Sepertinya aku sudah benar-benar hanyut dengan diskusi satu arah dalam pikiranku.

“Hi,” sapanya lagi, aku bisa melihat raut wajahnya yang masih terkejut, “sudah lama tak bertemu, apa yang sedang kau lakukan disini? Malam-malam...seorang diri...” suaranya habis diakhir kalimatnya.

“Aku sedang menanti penjelasanmu.” Kataku terus terang. Jantungku berpacu begitu cepat ketika mengucapkan kata demi katanya.

“penjelasan?” Ada nada bingung dalam ucapannya, “ah, maafkan aku karena tidak menghubungimu selama satu bulan terakhir. Aku harus menyelesaikan beberapa presentasi dengan klien di luar kota. Besok saja aku harus terbang ke Lyon untuk pertemuan bisnis,” dengan nada riang khas Anthony ia terus berbicara, lalu ia duduk di sebuah bangku taman yang bertengger kokoh tepat dibelakangku, “sebentar, kau bilang kau sedang menungguku? Aku tidak mengerti.”

“kenapa kau tidak menghubungiku?” aku berbalik dan menatap langsung ke matanya yang selalu ku sukai.

“Aku usdah mengatakannya, aku sibuk, Leslie,” imbuhnya sekali lagi, “kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana bisa kau menungguku disini? Maksudku kenapa? Jelaskan padaku.”

Anthony semakin menuntut dibalik raut wajah bingungnya. Lalu aku duduk disampingnya, mengamati tiap inci wajahnya yang sempurna. Matanya teduh, bagai pengisi ketenangan jiwa. Hidungnya kokoh berdiri diantara kedua pipinya yang tirus. Bibir penuhnya akan sangat indah jika sekarang ia tersenyum.

“Edward menyuruhku bertemu denganmu disini.”

“jadi Ed mengatakannya padamu,” ia tersenyum, tapi pahit. Lalu ia menatap pepohonan diseberang jalan, “aku tahu ia akan melakukannya, meski aku tidak tahu waktunya.”

“kau berbohong padaku...”

“aku tidak berbohong, aku benar soal aku sibuk, aku hanya tidak memberitahumu bahwa aku sedang dalam kondisi tidak sehat.” Semakin pahit kata-kata yang ia lontarkan.

“seberapa parah?”

“tidak parah, semuanya baik-baik saja.”

“itu yang kau katakan pada Ed.” Timpalku lemah.

“ah, aku lupa Ed sudah membocorkan semuanya.” Wajahnya tetap pahit, namun ada nada lega dalam ucapannya.

“katakan padaku seberapa parah? Apa yang dikatakan dokter padamu? Apa baik-baik saja bagimu untuk tetap bekerja? Apakah...” aku kehabisan kata-kata. Napasku seperti akan terputus dengan sebuah pertanyaan yang ku ucapkan sendiri.

Anthony meninggalkan pepohonan di seberang kami dan mengalihkan pandangnya ke wajahku.

“kenapa kau menangis?” ia menyeka air mata yang tanpa ku sadari sudah membasahi pipiku, “aku tidak akan mati.”

“aku tidak menangis!” dustaku, “lagipula siapa yang bilang kau akan mati, huh?” wajahku menantang. Namun Anthony malah menatapku dengan wajah geli. Ia masih memegangi pipiku yang basah saat ia menatapku, minilik jauh ke dalam mataku. Rasanya aku tak ingin beranjak dari tempat ini. Ingin ku hentikan waktu agar aku tak pernah kehilangan sorot indah matanya. Tapi, ada sesuatu dibalik tatapannya malam ini. Seolah ia sedang berbicara dengan pikirannya sendiri. Menuntut sesuatu yang kasat mata.

Keheningan ini membuatku risau.

“Maafkan aku,” ucapannya sarat penyesalan, “tapi aku tidak akan pernah melibatkan mu dengan semua ini.”

Anthony melepaskan jemarinya dari wajahku, begitu pun edar pandangnya, telah kembali ke pepohonan yang ku sadari bahwa itu adalah kumpulan pohon cemara.

“kenapa?”

Anthony diam sejenak, lalu ia menghela napas, “mungkin terdengar klasik atau kuno, tapi aku tidak ingin merepotkan mu, siapapun, bahkan Ed.” Ia memejamkan matanya selama beberapa detik, lalu kembali berbicara, “sudah malam, aku akan mengantarmu pulang.”

Anthony menaruh kedua tangan dilututnya yang tertetuk lalu ia berbidiri sambil membenarkan tas selempangnya. Ia menoleh ke arahku yang tetap tak beranjak.

“Ayo.” Ajak Anthony tanpa penekanan, tanpa paksaan, hanya sebuah ajakan.

“Anthony Clearwater.” Aku terkejut sendiri mendengar diriku menyebut nama lengkapnya, “apakah aku pernah merepotkanmu?”

“itu sebuah pernyataan.” Ia menaikan alis kanannya.

“dan kau selalu bilang bahwa kata merepotkan tidak pernah ada bagimu jika aku yang menjadi objeknya, kan?”

“tentu.” Ujarnya tanpa perlu berpikir dua kali.

“kalau begitu aku juga tidak keberatan jika kau repotkan.”

“tapi, Leslie,” Anthony jengah, ia kembali duduk dan menatapku lagi, “situasi saat ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Aku akan terlalu merepotkan jika orang lain terlibat. Sungguh.”

“Anthony!” nada suaraku sedikit meninggi, lalu buru-buru ku turunkan, “apakah ini hanya alasan mu untuk tidak bertemu denganku lagi? kau tidak ingin berhubungan denganku lagi, aku tahu.”

“tidak seperti itu, hanya saja terlalu merepotkan, Leslie.”

“yang merepotkan adalah ketika kau pergi dan aku tidak bisa menghubungimu. Aku merasa seperti teman yang dicampakkan!”

“jangan pernah berpikir seperti itu,” Anthony kembali berdiri, “kita sudahi saja pembicaraan ini.”

Anthony melangkahkan kakinya perlahan bersamaan dengan semilir angin yang berhembus melewati kami. Sementara itu aku merasa bahwa aku harus menghentikan pemikiran bodohnya itu. Aku tidak ingin ia pergi lagi. Sungguh.

“bagaimana jika situasinya berbalik?” ku katakan pertanyaan itu dengan mata nanar, “jika aku yang sakit apakah kau akan diam saja?”

Langkah Anthony terhenti pada pijakannya yang keempat. Bahunya bergetar samar, lalu bergerak naik dan turun ketika ia menghela napasnya. Aku tahu ia sedang menaruh bayangan diriku yang sakit dalam pikirannya.

“tergantung dirimu, aku akan mengikuti semua keinginanmu.” Anthony masih mempertahankan argumentasinya. Ia juga berusaha mengubah pendapatku dengan pandangannya.

“jika aku memintamu pergi karena aku akan menyusahkan mu kau akan tetap pergi? Meski kata merepotkan tidak berlaku bagimu? Kau akan tetap meninggalkanku? Begitukah?”

“sudahlah, Leslie,” sahut Anthony dari punggungnya, “sebaiknya kita pulang.”

“tidak sebelum kau mengizinkan aku membantumu.”

“sudah ku katakan bahwa aku akan merepotkanmu!” Anthony berbalik dengan raut wajah kesal, namun sorot matanya memendar sebuah kepedihan, “kanker ku stadium tiga dan hari ini dokter mengatakan bahwa aku harus mengambil cuti kerja agar aku dapat menjalani perawatan intensif selama satu bulan penuh, mulai minggu depan.”

Anthony berjalan ke arahku dengan langkah tak pasti. Seolah memastikan bahwa aku tidak akan kabur mendengar ucapannya.

“Leslie, sebulan itu waktu yang cukup lama untuk merenggut kebebasanmu, juga Ed,” nada suaranya menurun, menuntut pengertianku, “aku tidak ingin kau merasa terjerat, atau terasingkan dari duania mu, kau bisa kembali bersamaku setelah aku sembuh.”

Solusi yang diberikan Anthony tak mampu mengubah keinginanku. Oleh karena itu aku memasang wajah tak setuju sambil menggelengkan kepala.

“cobalah untuk tidak memikirkanku selama tiga puluh hari.” Anthony memohon dengan tatapan sendu.

“kau sendiri, bisakah kau tidak memikirakanku selama tiga puluh hari?” ku balas tatapannya dengan suasana pilu.

“tentu aku bisa,” ia mengalihkan pandangnya ke arah pepohonan lagi.

“kau berbohong ketika kau tak menatapku saat berbicara.”

“baiklah, aku berbohong,” ia mengaku, “tapi Leslie...” ia menghela napas panjang dan kembali manatapku, “baiklah, jika kau tetap keras kepala...lakukan apa yang kau inginkan, aku tidak akan memintamu untuk pergi lagi, tapi aku juga tidak akan memintamu untuk bertahan bersamaku, kau bisa membebaskan dirimu kapan saja.”

Aku tersenyum penuh kemenangan. Membuat Anthony keheranan dengan perubahan ekspresiku yang begitu tiba-tiba.


“aku akan tetap bersama mu, percayalah, Anthony.”

#NulisRandom2015

Comments

Popular posts from this blog

[Review] Mr. Sunshine, Reinkarnasi Jin Goo dan Kim Ji Won di DotS!

[FanFict] DO TIMJANG VOICE 3

Study In UK !!!