[Thought] 2 Juni 2015
Seperti rintik
hujan di senja hari yang membasahi tiap debu dijalan tak berbatu. Tiap tetes
airnya tak memandang ke arah mana ia harus berlabuh. Begitupun kasih dalam hati
manusia hawa, tak perlu petunjuk arah untuk menentukan kemana jiwanya akan
pergi. Ia mengalirkan kasihnya tanpa duga ke seorang manusia adam yang entah
mengasihinya kembali atau tidak. Ia hanya tahu bahwa kasihnya tak menuntut
balas. Kasihnya begitu tak terbatas, bahkan kata-kata sudah dilampauinya. Ia
hanya tahu jika kasihnya mungkin dapat dirasakan dalamnya oleh manusia adam
jika Tuhan memberitahunya. Hanya jika Tuhan menghendakinya. Sebagaimana turunnya hujan.
Seperti sinar
mentari pagi yang menghujani tiap udara di bumi. Hangatnya membungkus tiap
insan tanpa pamrih. Cahayanya menghidupkan tiap-tiap sendi kegelapan yang tak
terjamah mata. Juga menjadi pertanda bahwa sebuah petualangan baru siap
ditapaki. Begitu juga kasih seorang manusia hawa yang menghujam tiap-tiap nadi
seorang manusia adam. Kasih yang begitu lama terguyur namun tak teralirkan itu
mampu menghidupkan jiwanya. Manusia hawa siap menjadi pejuang diantara tiap
selipan kata dan tindak dari para cahaya lainnya. Ia memutuskan untuk membangkitkan
gemuruh jiwa yang selama ini diam. Sebuah kesiapan tertancap teguh dalam relung
jiwanya. Ia ingin menapaki dunia manusia adam. Berjalan ke arah tapakan
jiwanya, berlari lebih cepat dari mentari. Jiwanya siap bertualang bagi manusia
adam. Ia siap menjadi cahaya paling cepat, paling hangat, dan paling hidup bagi
manusia adam. Ia siap.
Seperti bulan
yang menguasai alam semesta ketika dewa siang turun dari peradaban, dikelilingi
kerlap-kerlip bintang yang redupnya tak seirama. Banyaknya bintang begitu tak
terhitung, ada puluhan bahkan ratusan. Bulan hanya diam, tapi para bintang
mengerling dengan anggun padanya. Meski ada jarak dan intensitas kerlingan,
Bulan tetap menyuguhkan senyuman. Bulan tak sampai hati jika para bintang
bersedih lantaran tak menerima balas. Diantara para bintang yang gemerlap, ada
sesosok bintang yang berdiam dekat bulan. Namun ia kecil hingga sinarnya pun
tak dapat dirasakan bulan. Tapi ia tetap gembira karena telah menjadi bagian
penjaga malam. Begitupun manusia hawa, bak bintang berjarak dekat yang samar
ditengah keriuhan. Ia juga ingin menghidupkan malam bersama bulan. Tapi apa
daya, manusia hawa butuh lebih dari sekedar kesungguhan hati. Ia tahu akan hal
itu, tapi jiwa dan raganya enggan bersekutu. Manusia hawa terlalu takut
mengerling pada manusia adam. Ia tak memiliki nyali. Hingga kata juang di siang
hari ditelan malam. Manusia hawa lelah berjuang, manusia hawa sudah cukup
bahagia dapat menjadi bagian langit malam bersama manusia adam, sang bulan.
#nulisRandom2015
#nulisRandom2015
Comments